19 April 2008

GURU TERBAIK DAN TERBURUK

5 karakter guru terbaik menurut saya

- Mendidik : Memiliki jiwa pengorbanan yang kuat untuk

kemajuan siswa

- Pengertian : Mampu menempatkan kebijakan dengan

seimbang, tanpa memojokkan suatu objek

- Humoris : Mampu mencairkan suasana belajar

- Kreatif : Memiliki banyak metode pembelajaran dalam proses

transferisasi ilmu kepada siswa

- Terbuka : Siap membantu menyelesaikan berbagai problem siswa


5 karakter guru terburuk menurut saya

- Emosional : Pemarah

- Terlalu : Terlalu lembut, terlalu serius, terlalu keras, pokoknya

yang berhubungan dengan terlalu

- Cuek : Tidak ambil pusing terhadap keadaan siswa

- Genit : Main mata dengan siswa

- Ogah-ogahan : Malas mengajar/ tidak bersemangat


10 April 2008

TEORI "NATURALISME" ROUSSEAU


Jacques Rousseau (1712 - 1718) dalam bukunya Du de 'education, menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir hingga remaja. Menurut Rousseau: "Tuhan menciptakan segalanya dengan baik; adanya campur tangan manusia menjadikannya jahat (God make every things good; man meddles with them and they become evil).

Rousseau menyarankan "kembali ke alam" atau "back to nature", dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yaitu : "naturalisme". Naturalisme berarti, pendidikan akan diperoleh dari alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu berkembangnya mutu, seperti kebahagiaan, sportivitas dan rasa ingin tahu. Dalam prakteknya naturalisme menolak pakaian seragam (dress code), standarisasi keterampilan dasar yang minimum, dan sangat mendorong kebebasan anak dalam belajar.

TEORI JOHN DEWEY TENTANG PENDIDIKAN

John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.

John Dewey memaknai pendidikan sebagai proses pembaruan makna-makna pengalaman lewat transmisi insidental dan intensional. Dengan usaha demikian, pendiidkan membantu manusia merealisasikan segala kemampuan yang ada dalam dirinya untuk menjad pribadi yang mandiri.

Ialah sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh Karena itu pertanyaan what is harus dikembangkan menjadi what for dalam filsafat praktis. “Menurut John Dewey, kita harus sanggup bertindask, tidak selalu terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan berusaha memecahkan masalah dengan tindakan konkrit,”

Bandingkan pendapat Dewey tsb dengan sabda Rasulullah SAW "didiklah anak-anakmu untuk jamannya yang bukan jamanmu"

Aspek pengalaman dalam pendidikan dapat kita lihat dalam buah pikiran John Dewey.(1859-1952). Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman-pengalaman. Melalui pengalaman seseorang akan memperoleh makna dan sekaligus peluang untuk memperoleh pengalaman berikutnya. Untak itulah J.Dewey menegaskan bahwa konsep pengalaman merupakan intipati pendidikan. Kunci untuk memahami diri dan dunia kita menurut Dewey, tiada lain adalah pengalaman-pengalaman kita sendiri. Dengan kata lain J.Dewey mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang mengangkat pengalaman hidup anak didik. Pengalaman hidup ini bisa berasal dari aktivitas keseharian, ataupun dari kegiatan yang diprogramkan oleh lembaga-lembaga tertentu.

09 April 2008

ANTARA FITRAH DAN PROGRESSIVISME JOHN DEWEY

oleh : Muis Sad Iman

Perbedaan mendasar antara progressivisme John Dewey dan konsep fitrah dalam Islam adalah titik tolak epistemologis masing-masing. John Dewey berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan standar rasional, sedangkan konsep fitrah dalam Islam berangkat dari doktrin-doktrin wahyu (al-Qur'an dan Hadis). Perbedaan titik tolak inilah yang kemudian berimplikasi pada perbedaan konsepsi masing-masing tentang konsep pendidikan.

Sesuai dengan konsepsi progresivisme John Dewey yang telah dijelaskan pada bab III dalam buku ini, ada beberapa perbedaan yang dapat disimpulkan. Pertama, Kedudukan pendidikan menurut progresivisme secara umum, lebih berorientasi pada kehidupan duniawi. Berbeda dengan konsep fitrah dalam Islam, kedudukan pendidikan dalam Islam adalah suatu sarana untuk mendalami agama, mengenai Allah, dan mengenai dirinya. Kedua, konsep demokrasi dalam pendidikan lebih dipahami oleh Dewey dengan memberikan materi pendidikan sesuai dengan keinginan anak didik. Hal ini berbeda dengan konsep fitrah dalam Islam yang lebih mengarahkan anak didik pada tujuan-tujuan keagamaan. Tingkat pemahaman dan pengetahuan anak didik tetap menjadi pertimbangan, namun ada arahan yang jelas untuk mengembangkan anak didik sesuai dengan tujuan-tujuan keagamaan.

Ketiga, Konsep fitrah dalam Islam tidak sepakat dengan pandangan Dewey bahwa kebudayaan itu menentukan sifat-sifat manusia. Manusialah yang membentuk kebudayaan. Maka kemajuan dan kemunduran sifat-sifat manusia tidak ditentukan oleh kebudayaan, tetapi ditentukan oleh tingkat konsistensi Manusia terhadap fitrahnya.

Keempat, Konsep fitrah dalam Islam tidak sepakat dengan pandangan Dewey Bahwa kemerdekaan adalah hak mutlak manusia. Kalimat itu masih harus dilanjutkan “kebebasan mutlak ini disertai dengan kemampuan untuk memilih”. Kemerdekaan manusia berada dalam memilih secara berfikir untuk menghormati hukum-hukum yang diwahyukan dan mengetahui perintah-perintah Tuhan. Predistinasi bukan determinasi mekanis akan tetapi pilihan yang bersandar kepada fikiran.

Kelima, Konsep fitrah dalam Islam melihat bahwa pemikiran progressivisme Dewey telah dicemari oleh faham atheisme. Hal ini sebagaimana dukungan Dewey terhadap pandangan yang menyatakan hubungan demokrasi dengan kapitalisme, yang dianggap sebagai dua hal yang bersepupu bila ditinjau dari sifat-sifat manusia, sehingga seumpama yang pertama dibunuh, yang kedua juga turut terbunuh.



PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONTRUKSI SOSIAL

Oleh Abdurrohim

Monday, 26 November 2007 “Sekolah adalah siksaan tak tertahankan”. Penggalan syair Rabindhranat Tagore ini mengingatkan kita pada proyeksi pendidikan di Indonesia saat ini yang berada pada titik nadir. Di tengah kesulitan para pemikir dan praktisi pendidikan untuk keluar dari jebakan labirin kesemrawutan pendidikan di Indonesia, pendidikan kini menjadi sangat mahal. (Telaah Aliran Rekonstruksianisme)

A. Pendahuluan

“Sekolah adalah siksaan tak tertahankan”. Penggalan syair Rabindhranat Tagore ini mengingatkan kita pada proyeksi pendidikan di Indonesia saat ini yang berada pada titik nadir. Di tengah kesulitan para pemikir dan praktisi pendidikan untuk keluar dari jebakan labirin kesemrawutan pendidikan di Indonesia, pendidikan kini menjadi sangat mahal. Praktis dunia pendidikan di Indonesia saat ini ibarat menara gading, di mana para penikmat pendidikan hanyalah sekelompok orang berpunya (muthrafin) yang terus menerus menjadi kekuatan hegemonik penindas terhadap orang-orang lemah (mustadh’afin).
Fenomena sosial ini timbul akibat efek domino yang disebabkan krisis multidimensional yang mendera Indonesia, sehingga menimbulkan depresi ekonomi yang membuat lembaga pendidikan menjadi badan otonom sekaligus menjadi lahan bisnis baru para pemilik modal. Depresi ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini mirip dengan depresi ekonomi yang menimpa Amerika pada tahun 1930-an. Ketika itu digambarkan bahwa di Amerika terjadi sebuah kelaparan di tengah kemakmuran. Persoalan bangsa Amerika lebih terpusat pada pendistribusian kekayaan dan bahan makanan dari pada pemroduksiannya, sebagian sektor bisnis lumpuh dan para politisi dan ekonom nampak tidak sanggup menghadapi bencana ekonomi tersebut .
Dari fenomena tersebut, George S. Counts dan Theodore Brameld menggagas orientasi baru pendidikan di Amerika, di mana para pendidik diajak untuk membuang mentalitas budak, agar secara hati-hati menggapai kekuatan dan kemudian berjuang membentuk sebuah tatanan sosial baru yang didasarkan pada sistem ekonomi kolektif dan prinsip-prinsip demokratis. Selain itu kalangan profesional pendidikan dianjurkan untuk mengorganisir diri dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) dan menggunakan kekuatan terorganisir mereka untuk kepentingan-kepentingan masyarakat luas . Oleh karena itu pendidikan diarahkan sebagai sumber dan implementasi tujuan sosial baru untuk rekonstruksi sosial yang penekanannya pada tujuan sekaligus metode .
Pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial yang ditawarkan aliran rekonstruksianisme merupakan seperangkat gagasan yang bisa jadi merupakan tawaran pemikiran alternatif yang bisa diadapsi oleh pemikir pendidikan di Indonesia dalam upaya membebaskan pendidikan dari jebakan “carut-marut” dunia pendidikan yang terjadi saat ini. Pendidikan seharusnya diselenggarakan untuk membebaskan manusia dari “kerangkeng” kebodohan, akan tetapi sebagaimana terjadi pada saat ini, pendidikan tidak hadir dalam upaya rekonstruksi sosial pada masyarakat secara semesta. Karenanya kita masih mendapati banyaknya anak-anak yang putus sekolah, anak-anak yang gantung diri karena tidak mampu membayar SPP, dan banyaknya mahasiswa yang terancam drop out karena menunggak pembayaran SPP.

B. Latar Belakang Historis Aliran Rekonstruksianisme

Sebagaimana aliran filsafat pendidikan yang lain, rekonstruksianisme mendasarkan gagasan rekonstruksinya pada para filsuf terdahulu yang dianggap sebagai “filsuf rekonstruksianis”. Diantaranya adalah Plato yang telah merancang desain negara masa depan (The Republik), dan secara tandas menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis. Selain Plato, filsuf Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf dari kerajaan Romawi, yang mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat nasionalisme dan chauvinisme. Sementara itu, filsuf era Skolastik seperti St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen ideal, sebagaimana tertuang dalam karyanya The City of God .
Pada era revolusi industri banyak bermunculan tulisan-tulisan yang bernada sosialistik dari para pemikir seperti Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois Noel Babeuf, dan Edward Bellamy. Para pemikir ini melihat bahaya dari akibat revolusi industri yang cenderung menjadikan teknologi semata-mata akan memperkaya segelintir pemilik modal dan bukan demi kemaslahatan kemanusiaan sedunia. Upaya rekonstruksi sosial secara sistematik juga digagas oleh Karl Marx, di mana ia melihat penderitaan kaum proletar yang didehumanisasi oleh sistem industri kapitalis, dan berupaya merekonstruksi masyarakat dunia, dengan berdasarkan jaringan komunisme internasional .
Kesemua pemikir tersebut merekomendasikan pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial, contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial”.
Di Amerika Serikat ada pula beberapa pemikir yang melihat pendidikan sebagai alat perubahan sosial, diantaranya: Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey Harris, Francis Parker dan John Dewey. Dewey melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan individu dan masyarakat . Dari filsafat pragmatisme Dewey inilah landasan filosofi rekonstruksianisme dibangun. Akan tetapi aliran rekonstruksianisme tidak sekedar mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan humanisme sebagaimana kaum pragmatis. Rekonstruksianis berbeda dari kaum pragmatis tentang bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia pendidikan. Berbeda pula dengan pendekatan yang dilakukan aliran progresifisme, rekonstruksianisme tidak sekedar ingin “memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan perubahan sosial di masyarakat. Sementara itu aliran rekonstruksianisme dalam satu prinsip sependapat dengan perennialisme, bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern saat ini yang sedang berada di tubir kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran .
Walaupun demikian, aliran rekonstruksianisme mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Aliran perennialisme memilih untuk kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture sebagai solusi yang paling ideal. Sedangkan aliran rekonstruksianisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina satu konsensus yang paling luas mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan umat manusia .
Secara fundamental, pemikiran rekonstruksianisme muncul karena terjadi kesenjangan antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan terhadap teori-teori umum (general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”. Sehingga diperlukan teori yang membumi (grounded theory) yang mampu mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan politik secara maksimal. Serangan terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan mengalami puncaknya pada Habermas yang merupakan wakil terkemuka pada kecenderungan perlawanan terhadap teori-teori besar.
Rekonstruksianisme adalah filsafat sosial yang menuntut diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang dikembangkan ke taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri terhadap teori dan metode. Hal ini dimotivasi oleh kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individu-individu sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang berupa kultur material dan spiritual. Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo. Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial.
Rekonstruksianisme mendasarkan pada dua premis mayor: (1) masyarakat membutuhkan rekonstruksi yang konstan atau perubahan, dan (2) perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pendidikan dan menggunakan pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat . Cakrawala utopian ini tetap menjadi perhatian utama dan ciri permanen yang menjadi landasan aliran rekonstruksianisme secara menyeluruh. Pada intinya rekonstruksianisme bertujuan untuk mengkongkretisasi kehidupan, di mana dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, anak, sekolah dan pendidikan dalam koodinasi sosial budaya dan cara serta arah pendidikan harus sesuai tuntutan masyarakat.
Sekalipun rekonstruksianisme lebih banyak dipengaruhi oleh pragmatisme John Dewey, tampaknya teori kritis yang dikembangkan mazhab Frankfurt ikut serta mewarnai variasi perspektif Marxian yang mendasari ide rekonstruksi dan perubahan sosial aliran rekonstruksianisme. Pada awal tahun 1900-an hingga 1930-an teori Marxian terus berkembang, diantaranya pendirian Institut Riset Sosial di Frankfurt, Jerman, oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923. Institut ini dibesarkan oleh pemikir utama seperti Marx Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Berkuasanya rezim Nazi di Jerman membuat Institut ini berpindah ke Universitas Columbia di Amerika, dan seusai perang, tahun 1949 Horkheimer mengembalikan Institut ini ke Jerman .
Sebagaimana halnya rekonstruksianisme, aliran teori kritis juga merupakan filsafat sosial yang menurut Horkheimer bertujuan untuk menggariskan tugas-tugas “filsafat sosial”. Hal ini menunjukkan adanya minat yang sama terhadap suatu teori mengenai masyarakat yang dikembangkan dari pertemuan dialektis antara problem-problem filsafat kontemporer dengan riset ilmiah empiris .
Aliran kritis mengecam keras “industri pengetahuan” seperti sekolah, universitas dan lembaga penelitian yang menjadi struktur otonom di masyarakat, karena struktur ini akan senantiasa opresif untuk menanamkan kultur dominan di masyarakat. Habermas membedakan tiga sistem pengetahuan dan kepentingannya yang saling berhubungan. Tipe pertama adalah ilmu analitik atau sistem saintifik positivik klasik yang kepentingan dasarnya adalah kontrol teknis dan opresif yang dipaksakan pada lingkungan, masyarakat dan individu. Tipe kedua adalah pengetahuan humanistik yang kepentingan dasarnya adalah untuk memahami dunia dengan pandangan aposteriori agar dapat membantu kita untuk memahami diri dan memahami orang lain. Pengetahuan tipe ini tidak bersifat opresif dan dan membebaskan. Tipe ketiga adalah pengetahuan kritis yang didukung oleh Habermas dan pemikir mazhab Frankfurt pada umumnya. Kepentingan dasar yang melekat pengetahuan jenis ini adalah emansipasi manusia .
Paradigma kritis yang dikembangkan oleh mazhab Frankfurt tidak meninggalkan pengaruh yang mendalam pada aliran rekonstruksianisme sebagaimana halnya pada pedagogik kritis. Rekonstruksianisme memandang pendidikan adalah upaya rekonstruksi masyarakat secara terus menerus, bukan untuk merevolusi secara radikal suatu masyarakat dan terjadi upaya destruksi terhadap tatanan sosial yang sudah mapan di masyarakat tersebut.

C. Pandangan Filosofis Tokoh-tokoh Rekonstruksianisme

Rekonstruksianisme secara terminologis bukan sebuah filosofi dalam maknanya yang tradisional, karena tidak sampai pada aspek epistemologi dan logika secara mendetail. Hal ini dapat terlihat bahwa rekonstruksianisme lebih mencurahkan perhatian pada rekonstruksi sosial dan budaya di mana kita berpijak. Bisa dikatakan bahwa rekonstruksianisme hampir murni sebuah filsafat sosial, karena membawa penganutnya tidak menjadi filosof professional, akan tetapi menjadi sarjana dan aktifis pendidikan yang berkonsentrasi pada perbaikan kondisi sosial dan budaya .
Diantara tokoh rekonstruksianisme yang utama adalah George S. Counts (1889-1974). Dia merupakan figur penting dalam pendidikan di Amerika selama beberapa tahun dan menjadi professor pendidikan pada institusi pendidikan utama seperti universitas Yale, Chicago dan Columbia, serta merupakan penulis lusinan buku yang mengandung banyak aspek pendidikan, filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan .
Pandangan sentral Counts’ adalah ketika pendidikan dalam sejarah digunakan untuk mengenalkan peserta didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, dalam waktu yang sama telah direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan mengeliminasi patologi sosial. Dia menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut. Counts’ menyeru para pendidik untuk membebaskan diri dari kebiasaan pendidik yang merasa nyaman menjadi pendukung status quo dan terjun bebas menjadi aktor perubahan sosial di masyarakat .
Dalam karya monumentalnya “Dare the School Build a New Social Order?” ia menulis:
Jika pendidikan progresif ingin sungguh-sungguh mendidik dan benar-benar progresif. Ia harus membebaskan diri dulu dari pelukan kelas menengah, lalu menghadapi setiap isu sosial dengan berani dan langsung, menjumpai kenyataan hidup yang paling jahannam sekalipun tanpa memicingkan mata, memantapkan hubungan timbal balik yang organik dengan komunitas, mengembangkan teori yang komprehensif dan realistis tentang kesejahteraan, mengambil visi tentang takdir manusia secara tegas dan lantang dan jangan cepat gemetar kalau bertemu dengan hantu yang bernama penanaman dan indoktrinasi .

Selain Counts’, tokoh yang berpengaruh pada pengembangan pemikiran aliran rekonstruksianisme adalah Theodore Brameld (1904-1987). Dia adalah penulis banyak buku, diantaranya: Toward a Reconstructed Philosophy of Education, Education as Power, dan Patterns of Educational Philosophy. Brameld mengajar filsafat dan filsafat pendidikan, hidup dan mengajar di Puerto Rico, dan pernah mengajar di universitas terkemuka di Amerika .
Brameld melihat rekonstruksianisme sebagai filsafat kritis yang tidak hanya mengapresiasi persoalan pendidikan, tetapi juga persoalan budaya. Dia melihat masalah kemanusiaan sedang berada di simpang jalan dan hampir mengalami kehancuran, hanya dengan berusaha penuh kita bisa menyelamatkan kemanusiaan tersebut. Karenanya dia melihat rekonstruksianisme juga sebagai filsafat nilai. Nilai yang dimaksud adalah nilai yang berdasarkan asas-asas supernatural yang menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis .
Brameld juga menekankan untuk membangun tujuan-tujuan yang jernih untuk pembebasan, dalam maksud lain dia menyebut persatuan dunia untuk menghilangkan bias yang ditimbulkan nasionalisme yang sempit dan menyatukan komunitas ke dalam pandangan dunia yang lebih luas. Hal tersebut akan menjadikan pemerintahan-pemerintahan dunia dan peradaban-peradaban dunia di mana orang-orang dari seluruh ras, negara, warna kulit dan kepercayaan ikut terlibat bersama dalam kedamaian dunia. Menurutnya satu aktifitas filsafat yang utama adalah penjelajahan makna terhadap perbedaan konsepsi dari pusat tujuan penyatuan dunia .
Rekonstruksianisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata susunan baru seluruh lingkungannya. Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerja sama semua bangsa-bangsa. Secara ringkas rekonstruksianisme bercita-cita mewujudkan dan melaksanakan sintesa, perpaduan ajaran Kristen dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan seni modern di dalam satu kebudayaan yang dibina bersama oleh seluruh kedaulatan bangsa-bangsa sedunia. Rekonstruksianisme mencita-citakan terwujudnya satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam kontrol mayoritas umat manusia.

D. Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksianisme

Diantara beberapa prinsi-prinsip pokok pemikiran yang dikembangkan rekonstruksianisme dapat diuraikan sebagai berikut antara lain:
1. Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia, kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi. Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang terbesar terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini. Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan pertanian .
2. Perlunya sebuah tatanan sosial semesta. Maksudnya untuk mengatasi persoalan-persoalan global tersebut, perlu kolaborasi menyeluruh dari seluruh antar elemen bangsa-bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia sedunia, dan mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa dan agama.
3. Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan sosial. Aliran rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan .
4. Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Dalam perspektif rekonstruksianis, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, sosial. Di sisi lain menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Lebih dari itu rekonstruksianisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia .
5. Pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia global, dan terlibat aktif dalam mengajarkan perubahan sosial. Pendidikan harus memantikkan kesadaran peserta didik akan problematika sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial (social consciousness) dapat ditumbuhkan dengan menanamkan sikap dan daya kritis terhadap isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.

E. Tujuan, Metode dan Kurikulum Pendidikan Rekonstruksianisme

Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini adalah cita-cita dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia dan peradaban. Baginya tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk mengakomodir perubahan sosial dan aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah sejenis perkembangan evolusioner dari paradigma Hegelianisme yang dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Di mana rekonstruksianis ingin melibatkan orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan menolak untuk mengabstraksi filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan (knowing) daripada praktik (doing). Rekonstruksianis ingin memberangus mentalitas “intelektual menara gading”, dengan melibatkan setiap orang pada partisipasi sosial yang aktif, dan tidak memisahkan sekolah dari bagian masyarakat dan individu, karenanya lebih menekankan penyatuan dari pada pola pikir fragmentaris. Komunitas dunia, persaudaraan, dan demokrasi adalah tiga tujuan ideal yang dipercaya dan ingin diimplementasikan oleh rekonstruksianis di sekolah dan di masyarakat. Sekolah-sekolah seharusnya menerapkan ketiga tujuan ideal tersebut melalui kurikulum, administrasi sekolah, dan praktik pengajaran .
Dalam hal metode, rekonstruksianisme ingin merubah metode pendidikan tradisional yang memiliki kecenderungan mengikat diri pada status quo dan menolak untuk berubah. Diantaranya para guru harus berperan aktif mengapresiasi nilai-nilai ideal di atas dan tidak mengajarkan teks buku secara doktriner, karena hal itu akan membunuh kesadaran kritis peserta didik, karena tidak jarang buku teks ajar yang ada mengandung banyak distorsi dan membawa nilai-nilai dominan yang menghegemoni sebuah masyarakat dan negara tertentu.
Pendidikan harus dihubungkan pada kepentingan aktif dalam aktifitas publik, contohnya dengan menghadirkan seorang pakar dan ahli dalam bidang politik, sosial, budaya dan sebagainya, di mana para peserta didik akan belajar melalui partisipasi aktif dalam diskusi tanpa harus membuat para siswa kelelahan dengan kewajiban membaca dan menghapal buku teks ajar. Selain itu para guru mulai memfokuskan pada kritik isu-isu sosial kontemporer yang biasanya tidak tersentuh pada buku teks ajar yang ada. Sehingga para guru harus menjadi lebih kritis, analitis dan tidak diskriminatif dalam menjustifikasi suatu permasalahan.
Dalam metode pengajaran, para guru mengaktifkan para siswa pada proses belajar kelompok, dimana para peserta didik melakukan pendeteksian suatu masalah dan kemudian diajarkan bagaimana caranya memecahkan permasalahan tersebut. Dalam upaya pemecahan masalah tersebut, para siwa dibimbing untuk berfikir kritis dan kreatif, sehingga melahirkan pembuatan keputusan yang brilian. Selain itu peserta didik diajarkan simulasi komputer, kemagangan, pengenalan studi kerja, bermain peran, pembelajaran kooperatif, dan penelitian tindakan metafor. Adapun manajemen kelas yang dipakai adalah model resolusi konflik, eksperimentasi, optimisme, fleksibilitas dan pengembangan komunitas.
Mengenai kurikulum, rekonstruksianisme mengorganisir kurikulum yang oleh Brameld disebut “the wheel” (roda) kurikulum, di mana inti (core) tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan. Kurikulum ini bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal, sentripetal karena akan membawa masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum. Sentrifugal karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan menciptakan transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara sekolah dan masyarakat .
Implikasi pemikiran filosofis rekonstruksianisme dalam kurikulum diarahkan kepada penumbuhan kesadaran kritis peserta didik dengan model keaksaraan kritis pada materi yang diajarkan. Selain itu kurikulum ditekankan pada upaya membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suatu suku tertentu untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural. Demikian pula proyeksi hubungan kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan baik secara eksplisit maupun implisit dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadap berbagai macam ketimpangan sosial dan politik yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan status quo, dapat menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa selanjutnya. Persoalan perubahan ekonomi dan kehidupan nyata juga menjadi titik tekan utama aliran rekonstruksianisme, dalam rangka melacak peranan perubahan ekonomi, kebijakan ekonomi status quo yang menimbulkan akibat-akibat baik positif maupun negatif pada kehidupan bermasyarakat suatu negara. Pada puncaknya, kurikulum diatur sedemikian rupa untuk merespon perlunya sebuah tatanan sosial yang mendunia, di mana para peserta didik tidak memiliki pemahaman yang fragmentaris, agar persoalan-persoalan primordial seperti keyakinan, ras, warna kulit, suku dan bangsa tidak menjadi alasan terjadinya krisis kemanusiaan, seperti permusuhan, kebencian dan perang.
Rekonstruksianisme mengajukan kurikulum semesta yang menekankan pada kebenaran, persaudaraan dan keadilan. Mereka menolak kurikulum parokial yang sempit dan hanya membawa kepentingan ideal komunitas lokal tertentu . Contohnya, pengajaran sejarah dunia semestinya juga diarahkan pada kerja-kerja kontemporer lembaga-lembaga internasional seperti PBB, ASEAN, OKI dan lain-lain. Kurikulum juga diorientasikan pada aksi peserta didik, seperti gerakan mengumpulkan dana amal, terlibat dalam petisi, protes atau demo bersama masyarakat untuk merespons kebijakan negara yang menimbulkan problematika sosial. Peserta didik tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar pada fenomena sosial yang ada seperti kemiskinan, perusakan alam, polusi udara, pemanasan global, pornografi dan lain-lain. Oleh karena itu rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya dan isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik memiliki kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai diimplementasikan sejak Taman Kanak-Kanak, yaitu pada usia yang paling peka. Dengan demikian, peserta didik dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan menjadi agitator utama perubahan sosial.

F. Rekonstruksianisme dan Pendidikan Islam

Menyoal pendidikan Islam, maka kita akan menjumpai konsepsi pendidikan dengan kekhasan tersendiri, di mana term pendidikan (tarbiyah) terikat pada tatanan nilai (value laden) dan doktrin teologis agama Islam. Islam yang hadir sebagai sumber inspirasi perubahan sosial dan kultur jahiliah di Mekkah ketka itu, membuktikan bahwa doktrin teologis Islam mengandung aspek nilai dan upaya rekonstruksi sosial yang bertujuan menciptakan tatanan sosial dan budaya yang sama sekali baru yang berlandaskan nilai-nilai tauhid.

Berangkat dari fakta demikian, maka upaya rekonstruksi sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam konsepsi pendidikan Islam. Upaya rekonstruksi sosial adalah sesuatu yang inheren dalam pendidikan Islam, sebagaimana inherennya konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam doktrin Islam. Menurut Noeng Muhadjir, dalam fungsinya sebagai anggota sosial, seorang muslim berkewajiban mengembangkan kemampuan lingkungan sosialnya untuk kebaikan, kemaslahatan dan keutamaan hidup masyarakat. Kemampuan tersebut ditampilkan dalam amar ma’ruf dan nahi munkar yang mencakup moralitas deontologik atau moralitas produk budaya, dan moralitas ontologik berdasarkan wahyu. Baginya konsep dasar “pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial” adalah merekonstruksi relasi kekuatan antara kekuatan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama dengan peranan pendidikan .
Sekalipun gagasan filosofis rekonstruksianisme sesungguhnya senafas dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar, pendidikan Islam dari sekarang bisa menjadikan dua premis mayor rekonstruksianis tentang perlunya rekonstruksi yang konstan dan perubahan sosial serta kesadaran bahwa pendidikan Islam harus menjadi wahana rekonstruksi sosial di masyarakat, karena kita masih melihat posisi pendidikan Islam yang masih terkesan dianaktirikan oleh pendidikan nasional, sehingga pendidikan Islam menjadi tempat menumpuknya permasalahan pendidikan. Hal ini membuat pendidikan Islam belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya rekonstruksi sosial di masyarakat. Selain itu saat ini pendidikan Islam masih dianggap sebagai lahan yang subur untuk persemaian nilai-nilai radikalisme dan sektarianisme. Dengan gagasan perlunya rekonstruksi masyarakat baru yang menghilangkan batasan-batasan primordial yang sering menjadi sumber konflik, pendidikan Islam harus mampu hadir sebagai prototipe pendidikan yang menjadi wahana perubahan sosial.
Menurut Noeng Muhadjir, setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi dasar konstruk bangunan filsafat pendidikan Islam dimasa depan. Pertama, pendidikan Islam perlu menjadi pemeran aktif dalam menciptakan arah perubahan sosial yang lebih ideal; kedua, subyek-didik dan satuan sosial adalah sentral pengubah, bukan sekedar komponen mekanistik perubahan; dan ketiga, pola pikir dekonstruksi perlu mewarnai filosofi pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, beberapa asas-asas pemikiran rekonstruksianis cukup relevan untuk diapresiasi khususnya aspek kurikulum, seperti pentingnya keaksaraan kritis, pluralitas kultural, untuk menanamkan sikap toleran terhadap keragaman keyakinan dan budaya. Dalam hal ini metode yang digunakan dalam pengajaran adalah, proses kelompok, pendeteksian masalah dan “problem solving”, sedangkan dalam manajemen kelas, mengadopsi model resolusi konflik dan eksperimentasi
Pada pengalaman sejarah, kita dapat melihat lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah sangat getol dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda, dibandingkan sekolah-sekolah formal milik penjajah yang mengarahkan siswanya untuk berpihak pada status quo. Dalam konstelasi politik internasional, kita dapat melihat peristiwa revolusi Islam di Iran adalah bersatunya masyarakat umum, mahasiswa, dan pelajar yang didukung oleh para mullah untuk menggulingkan kekuasaan despotik Syah Reza Pahlevi, dan membangun tatanan sosial baru.
Paradigma rekonstruksi sosial sangat melekat dalam konsepsi pendidikan Islam, karena outcome-nya adalah orang-orang yang tercerahkan secara intelektual dan memiliki sense of critic serta kesadaran sosial, atau yang disebut oleh Ali Syariati (ideolog revolusi Iran) sebagai “Rausyanfikr”. Jadi dalam praktiknya, sesungguhnya pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat kuat dalam upaya melakukan rekonstruksi sosial, akan tetapi pada saat ini kontribusi pendidikan Islam di Indonesia terhadap upaya rekonstruksi sosial seolah jauh panggang dari api. Khususnya terhadap upaya penumbuhan kesadaran etika sosial dan upaya amar ma’ruf (kebajikan sosial), pendidikan Islam sangat jauh tertinggal oleh pendidikan Kristen atau Katolik dalam persoalan ini.

G. Kritik Terhadap Rekonstruksianisme

Filosofi pendidikan rekonstruksianisme merupakan respon terhadap fenomena pendidikan di Amerika, sehingga secara tidak langsung gagasan ini muncul sesuai dengan kondisi demografis-sosiologis Amerika yang sangat multikultur dan multietnik. Apabila ingin diterapkan di Indonesia maka harus ditinjau kembali apakah gagasan tersebut layak atau tidak untuk diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia.
Paradigma utopian yang sangat kental dari filosofi pendidikan rekonstruksianisme membuat gagasan-gagasan yang ada di dalamnya justru menjadi sangat teoritik dan cenderung tidak realistik. Karena gagasan seperti pembentukan tatanan sosial baru yang sangat ideal sebagai solusi atas bencana kemanusiaan yang terjadi, ibarat “mimpi disiang bolong”, sebab upaya utopis tersebut seolah mengabaikan kondisi rill umat manusia saat ini
Selain itu, tawaran pemikiran yang direkomendasikan oleh rekonstruksianisme, seperti keterlibatan aktif dunia pendidikan pada dunia politik, akan berdampak buruk pada aktifitas pendidikan yang secara akademik terlalu sakral untuk kemudian dicemari oleh intrik-intrik politik yang kotor dan menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu kekuasaan sebuah kelompok politik tertentu. Selain itu tidak bisa digeneralisir bahwa semua peserta didik harus melek politik, budaya, sosial dan ekonomi, karena pendidikan itu mencakup segala bidang perhatian.
Filosofi rekonstruksianisme bersifat makro, dan kurang menitikberatkan pada individu, padahal pendidikan seharusnya bertujuan untuk membangun kepribadian yang di dalamnya terdapat kebagusan akal budi dan moralitas individu (ahlak). Pendidikan tidak hanya ingin melahirkan para aktivis sosial, akan tetapi juga manusia yang bermoral, berkarakter, dan memiliki spiritualitas cukup. Apabila kesemua hal ini terpenuhi, maka otomatis kepedulian sosial sang anak akan muncul dengan sendirinya.


H. Penutup

Dari pemaparan singkat di atas dapat diketahui bahwa aliran rekonstruksianisme mendasarkan paradigma filosofisnya pada tatanan-tatanan ideal utopis seperti konsep “negara filsuf” milik Plato dan “kota Tuhan” milik St. Augustine. Paradigma tersebut diimbuhi semangat sosialistik (baca: sosialisme) ketika melihat fenomena depresi ekonomi di Amerika pada era tahun 1930-an. Seperti diketahui bahwa George S. Counts’ adalah orang Amerika yang banyak melakukan riset di Uni Soviet ketika itu. Begitupula Theodore Brameld yang banyak dipengaruhi perspektif Marxian. William F. O’neil juga menegaskan bahwa rekonstruksianisme Counts’ dan Brameld secara tradisional bisa dianggap sebagai corak liberasionalisme radikal pra-revolusioner, yang mengait pada pembetulan dan pengoreksian sebagian kesalahan atau noda-noda dalam sistem kapitalis .
Walaupun demikian, kita tidak bisa mengabaikan nilai-nilai positif dari perspektif filosofis yang ditawarkan oleh aliran rekonstruksianisme sebagai solusi alternatif untuk keluar dari kesemrawutan dan carut-marut pendidikan di Indonesia saat ini, karena bagaimanapun juga masyarakat Indonesia membutuhkan rekonstruksi yang konstan atau perubahan sosial secara menyeluruh dan terus menerus. Perubahan sosial yang dimaksud meliputi rekonstruksi pendidikan untuk merekonstruksi masyarakat ke tatanan sosial dan budaya yang lebih baik. Selain itu pendidikan Islam sudah semestinya untuk mulai mengapresiasi atau concern terhadap nilai-nilai sosial, komunitas kemanusiaan, kedamaian dunia, keadilan ekonomi, persamaan, kemerdekaan dan demokrasi, dalam rangka untuk mengeliminir kejahatan sosial seperti kebencian, kerakusan, sektarianisme, radikalisme, korupsi dan perang.

06 April 2008

MUSIM BERTENGKAR

Mtt_Qeen

Musim bertengkar. Bayang-bayang hari
bertumpu
di atas awan tebal. Kawanan pungguk

terbang siang. Menghardik kerumunan semut

berebut pagi . Dalam riuh angin, jiwaku
menggebu debu. Mengundang maut dan petaka besar.

Desingan peluru petir menyambar, menyembunyikan

erangan awan. Aku bersedih, dengan petani
memaki
hujan. Malaikat-malaikat subuh menarik
selimut
di rumah tuhan. Zamanku lebur.
Terperangkap
dingin dan panas siang.

Kota-kota hari esok akan terpanggang. Teriakku

tak mampu membangunkan gerombolan pemadam

yang sedang tertidur pulas. Ini hari masih berjalan.

Tangis ayam jantan akan terus mernggenangi
lubang.
Lihatlah para pemabuk menari!
Tahun-tahun berganti.

Hari esok ada salju.

LUKA SENJA

Oleh: Mtt_Qeen

Senja menghilang,
dibalik tubuh semut kecil

yang bertengger di besi tua

Dia mengaduh mengerang

Pada pinggul yang terluka,

dan kemudian pergi

KREATIF

DARI ALBUM PERDANA HINGGA NOSE MASKER

Berbicara soal kreatifitas, tentu semua orang akan tertuju kepada satu hal, yaitu karya. Karena buah dari kreatifitas adalah sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia melalui proses berpikir kreatif, baik itu yang standar maupun monumental. Seperti halnya Thomas Alva E dan James Watt yang mampu menciptakan karya-karya monumental yang banyak memberikan manfaat untuk kehidupan manusia se-jagad hingga saat ini. Begitu juga halnya dengan kreasi-kreasi individu yang kita hasilkan, yang akan bisa dinikmati oleh kita sendiri.

Pada tahun 1995, (masa ambang krisis moneter) usiaku 8 tahun saya sudah mampu merangkai bait-bait syair. Dan bait-bait syair itu saya bacakan di depan kelas SD. Semua teman saya kagum dan bersorak-sorai, “TAMBUUH CIEK!”. Mereka ingin mendengarkan lagi bait-bait syair yang aku ciptakan itu. Waktu itu jantung saya berdebar-debar sekaligus bangga karena memiliki kreatifitas yang tidak dimiliki oleh teman-teman sebayaku. Satu album lagu anak-anakpun saya rumpangkan saat itu, ketika Enno Lerian sedang gencarnya menari-nari di layer kaca TPI 1996.
Bukan itu saja, pada usia 15 (kelas 3 SMP), saya sudah mencoba menyelesaikan sebuah tulisan yang berjudul “Ada Apa Dengan Wanita?” yang menceritakan tentang seluk beluk wanita dan perubahan-perubahan (mode) yang dialaminya dari masa ke masa. Alhamdulillah tulisan ini saya bukukan, dan hanya disebarkan ke teman-teman dekat dan pacar saya.
Nah, pada masa SMU di Jakarta ide-ide itupun muncul bak peluru yang ditembakkan oleh senapan Kaliber 50 yang menancap keras dan berentetan menusuk jantung sasaran. Kumpulan puisi “Di Atas Jarum, bingkai fhoto dari barang bekas, alat pengorek kotoran hidung, hiasan tempurung, dan karya pertama yang saya ikut lombakan dalam Ajang Kreasi Teknologi Award 2006 adalah Nose Masker. Masker hidung yang saya berikan maskot “Bebas Asap, Bebas Polusi dan Bebas Berkreasi” ini adalah lambang cinta saya untuk manusia. Masker hidung ini bertujuan untuk memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dan melakukan segala aktifitas di luar rumah tanpa ada gangguan dari segala hal yang bisa mengganggu. Karena selama ini yang kita kenal adalah masker yang menutupi hidung dan mulut, yang membuat seseorang terlihat jelek dan sok bersih. Dan Nose Masker hanya ditempelkan dihidung saja, tanpa mengganggu pandangan dan pernafasan. Hebat bukan! Melalui 3 saring penyulingan ia mampu menetralisir semua udara kotor yang masuk melalui hidung. Tapi, saya tidak berhasil di ajang ini. Saya sangat sedih. (Almuttaqin)