29 March 2008

PESONA MENAWAN PUTRI RANIA


CERPEN

Oleh : Mtt_Qeen

Sore yang cerah. Sinar mentari mulai memerah. Menyelinap dibalik pepohonan rimbun di seberang jalan. Cahayanya begitu lembut menerpa kulitku nan lembab. Sesekali angin sejuk berhembus dari utara membawa aroma wangi sate pak Jali yang biasa mangkal di trotoar jalan depan.
Aku, Mama, dan kak Shofi duduk-duduk di beranda rumah, ngorsek (ngobrol ringan seputar kehidupan). Ceritapun bergulir, mulai dari kisah puisi kesayanganku yang kecebur got tadi siang hingga cerita hiruk pikuk konversi minyak tanah ke kompor gas yang semakin tak jelas ujungnya. Ya beginilah bangsaku. Tua-tua keladi, makin tua semakin jadi. Selalu saja melahirkan keputusan tak berpihak. Akibatnya rakyat kecil tercekik, sementara tikus-tikus got yang bertopeng Instansi berlapang perut di dalam sana, terbahak-bahak. Aku heran, kenapa bangsa ini malang sekali nasibnya? Hmmhhhhh...
Tak terasa hari semakin gelap. Awan-awan hitam begitu cepat menyebar dan menyelimuti bias langit. Mama dan kak Shofi bergegas masuk rumah, menutup pintu dan jendela. Sementara di jalan sana masih ramai mahasiswa-mahasiswa muda yang sedang menunggu angkutan pulang. Mereka begitu antusias memilah-milah mobil yang harus ditumpangi. Aku tak beranjak pergi. Terus menatap ke jalan yang lama-kelamaan semakin lengang.
“Sreet sreeettt duuaaaaaaaar!! ”
Lamunanku buyar.
“Firman… Cepat masuk! ”
“Ya Ma.”
Aku segera masuk rumah. Beberapa saat kemudian hujan turun sangat lebat sekali, diiringi dentuman petir yang bertalu-talu. Aku ingat pesan almarhum kakek Mujib (guru ngajiku sewaktu SMA). Katanya, ‘Jika hujan datangnya ketika menjelang pagi, artinya akan ada pertanda buruk karena masyarakat tidak bisa beraktifitas di pagi itu, namun jika ia datang menjelang magrib artinya akan ada pertanda baik yang sangat meyenangkan’.
“Mudah-mudahan ini benar pertanda baik. Amien…” Harapku.

***

Jam menunjukkan pukul 20.45, sementara hujan belum juga reda. Aku beranjak ke kamar mandi, wudhu, kemudian shalat Isya’ berjama’ah bersama Mama. Sementara kak Shofi asik dengan remot control dan sinetron kesayangannya “Cinta Fitri”. Baginya sinetron ini adalah tontonan wajib yang tak tergantikan oleh program apapun. Bahkan ia rela mengorbankan acara-acaranya di kampus cuma karena Fitri dan Farel. Aku heran.
Usai shalat aku segera membereskan sajadah. Kemudian aku berjalan ke arah jendela. Ku lihat hujan masih menari-nari diluar sana. Menerpa dedaunan kering yang sudah lama tak tersiram. Pohon mangga, rambutan, dan tanaman hias di depan rumahku, mereka semua bertasbih memuji tuhan atas karunia hujan malam ini. Aku tersenyum lega. Ketika aku akan beranjak pergi, tiba-tiba telingaku menangkap suara, seperti suara bebek, tapi ini sangat berbeda,
“Hiks hiks hikss…!”
Suara itu datang dari arah beranda rumah. Dekat sekali. Aku menghentikan langkahku. Suara itu semakin jelas.
“Hiks Hikss!”
Setelah ku buka pintu. Suara itu semakin jelas terdengar. Suara perempuan. Dan mataku dengan jelas melihat seorang perempuan menangis tersisak-isak di kehujanan, depan pintu pagar. Melihat itu, dadaku sesak. Perasaan iba dan kawatir bercampur aduk menjadi satu. Namun aku memberanikan diri mendekatinya,
“Assalamua’laikum! Koq hujan-hujanan mba’”.
Tanpa jawaban.
“Berteduh di dalam saja mba’! Nanti sakit”.
Perempuan itu hanya diam menunudukkan kepala. Pakaiannya basah. Tubuhnya menggigil. Ia tanpak lemah sekali. Sekilas kulihat ia tampak seperi mahasiswa UIN Syarif. Gaya berpakaiannya yang padan dan sopan, dengan celana jeans abu-abu membuatku bertambah yakin. Ya seperti gaya mahasiswa UIN Syarif pada umumnya. Tanpa sepengetahuanku ia membalikkan tubuhnya kearahku. Dan sekejap tampaklah wajah yang cantik memesona. Tak ayal mataku tak berkedip menatapnya. Wajah putih bersih tiada noda, dibalut jilbab hitam berpita emas. Hatiku bergetar hebat. Syaraf dan otot-ototku terasa membeku. Inilah pertama kalinya aku menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lama kami beradu pandang. Gadis itu tersenyum dengan kedua lesung pipit yang membuatku bertambah kagum, aku tersadar dan cepat-cepat memalingkan wajah. “Subhanallah, inikah yang disebut-sebut orang bidadari…” Gemuruh hatiku.
“Ayo ke dalam saja! Disini hujan.” Ajakku untuk yang kedua kalinya dengan sedikit gugup.
Perempuan itupun beranjak menuju rumahku. Namun ia memohon untuk berteduh di teras saja. Kemudian aku buru-buru menyediakan handuk, menyeduh teh panas dan tak lupa mengambil sedikit makanan di oven untuk sekedar menghilangkan rasa dingin.
“Silahkan diminum!.”
Dia membalasku dengan senyuman. Senyuman menawan yang belum pernah kudapatkan dari gadis manapun. Jantungku bergetar hebat. Gemuruh hatiku semakin tak tertahan. Alangkah cantiknya perempuan ini. Parasnya begitu sempurna bagai purnama tak berawan. Andai aku bisa memilikinya... Ya tuhan, kabulkan do’a hambamu ini!. Sesaat lama kami terdiam.
“Habiskan saja minumannya! Kalau kurang nanti saya tambah lagi.”
“Ya, Terima kasih.” Balasnya (lagi-lagi) ia melepaskan senyuman. Melihat itu gemuruh hatiku bertambah hebat. Putaran pompa jantungkupun semakin tak terkendali. Rasanya ingin cepat-cepat tahu siapa nama, alamat, nomor handpon, perempuan ini. Tapi nyaliku belum juga muncul. Aku terus memikirkan hal itu. Tak lama kemudian kucoba tarik nafas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk memulai perkenalan.
“Oh ya, kita belum kenalan. Nama saya Firman, kamu?.” Tawarku sambil mengulurkan tangan.
“Putri Rania.” Jawabnya singkat.
“Kosan kamu dimana? Jauh nggak dari sini?” Tanyaku sudah mulai agak tenang.
“O... Saya nggak ngekos.”
“Berarti setelah kuliyah langsung pulang dong ke rumah.”
“Ya, tapi saya bukan mahasiswa sini.”
“Terus kuliyah dimana?”
“Di Franch University, smester I. Kebetulan sekarang lagi liburan.”
Ya tuhan, ternyata dugaanku benar. Malam ini aku didatangi oleh bidadari cantik dari negeri Eiffel, negeri pahlawan Zizou sang bintang idola sepakbola dunia itu. Seketika hatiku berbunga-bunga. Seluruh penat dan letih kegiatan kuliyah tadi siang spontan hilang begitu saja. Aku tak pernah merasakan kebahagiaan seindah ini sebelumnya. Aku juga tidak menyangka kenapa hal ini bisa terjadi kepadaku.
“Enak ya bisa kuliyah di luar negeri.”
“Sama aja sebenarnya, di dalam maupun luar negeri semuanya tergantung masing-masing kita.”
“Ya, tapi tentunya pendidikan disana lebih menjanjikan daripada di sini, ya kan!”
“Semua pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga di sana.”
“Iya ya. O ya, tadi kenapa hujan-hujanan di luar sana?”
“Saya lagi nunggu papa. Katanya mau jemput di depan UIN Shahid. Nah, pas hujan saya bingun cari tempat berteduh. Di pertigaan sana banyak tukang ojek, tapi saya takut sama orang-orang yang tak dikenal. Terus tempat berteduh lain juga nggak ada, akhirnya aku berteduh di bawah pohon mangga itu, menurutku lebih aman.”
“Lucu kamu.” Ujarku sambil tertawa kecil.
Rania benar-benar bukan wanita biasa. Aku merasakan keistimewaan yang lebih pada dirinya. Suaranya yang lembut dan gaya bicaranya yang tertata rapih membuat aku semakin terpesona. Suasana malam menjadi terasa begitu cair dan romantis. Hatiku semakin sejuk dan bahagia. Rasanya ingin selalu berada di samping Rania. Inilah pertama kali aku terpesona pada seorang gadis. Gadis jelita yang tak kalah cantiknya dengan artis-artis Hollywood yang sering muncul di layar kaca. Aku benar-benar tenggelam dalam kebahagian. Mungkinkah ini cinta? Tapi secepat inikah prosesnya? Gundah hatiku.
Tiba-tiba hendpon Rania berdering. Ia memohon diri untuk mengangkatnya sebentar. Aku terpaksa menunggu hingga pembicaraan mereka selesai. Tak lama kemudian sebuah mobil BMW New Series berhenti di depan pagar rumahku. Aku terkejut, dan ternyata itu orang tua Rania. Tak lupa ia memperkenalkan orang tuanya kepadaku. Namun, belum sempat ku ajak masuk kerumah, mereka sudah meminta untuk pamit pulang karena ibu Rania sudah cemas menunggu di rumah.
“Firman, terimakasih ya atas kebaikanmu. Semoga tuhan membalas. Titip salam buat orang-orang di rumahmu! Kapan-kapan jalan kerumahku ya! Aku tunggu.”
“Ya, sama-sama. Tap, tapi...”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum Salam.” Jawabku linglung sambil menggaruk-garuk kepala.
BMW New Series itupun perlahan melaju. Tangan Rania melambai. Dan senyuman menawan itupun mekar di balik kaca film mobil yang perlahan jauh dan menghilang. Hatiku berontak. Perasaan sedih tiba-tiba menerkam. Badanku lemas. Tak terasa air mata menggenangi seluruh bola mataku dan menetes.
“Aku bodoh, Kenapa tadi cuma tanya nama doank... Alamatnya belum, nomor handpon belum, tanggal lahirnya juga belum. Aku benar-benar bodoh!”
Rania, aku tidak mau tahu siapapun kamu, dimanapun keberadaanmu, senyumanmu telah membuat hatiku luluh. Dan tutur-katamu telah membuat aku tersihir oleh anak panah cinta yang menancap keras di ulu hatiku. Aku tak akan berhenti berharap, suatu saat kita akan bertemu, dalam kebahagiaan cinta kasih yang halal, yang tak terlukiskan oleh seniman dunia manapun.

Jika dedaunan rimbun berbicara memujimu

Ku titip syair pada angin yang berhembus.


Malam ini demikian panjang bagiku

Ku tunggu kabar dari orang-orang yang datang dan pergi.

Sungguh!

Dibalik senyummu ada cahaya bersinar indah,

begitu menawan tanpa cela.



Ciputat, 12 November 2007

No comments: